LPI dimanfaatkan untuk kepentingan politis? Tentu saja! Masyarakat sekarang kembali menunjukkan dukungan pada Menpora, karena Andi Mallarangeng mendukung langkah Irfan Bachdim dan menekan PSSI untuk tidak mencoret dia dari Timnas! Siapa memanfaatkan siapa? Kita bahkan bisa dengan gamblang menantikan kiprah para pimpinan klub LPI ataupun LSI di ajang Pemilukada ataupun Pemilu 2014.
Sudah terbukti nyata, siapapun yang berhasil memimpin klub sepak bola kebanggaan kotanya menggapai prestasi membanggakan, akan dengan mudah merebut popularitas saat kampanye jabatan walikota, bupati, gubernur ataupun anggota dewan. Bahkan klub pun, baik di LSI maupun LPI sama-sama memanfaatkan orang-orang politik berkedudukan tinggi di daerah masing-masing. Sipil maupun militer dan kepolisian. Mengapa mendekati mereka penting? Karena merekalah yang memiliki otoritas atas fasilitas umum/infrastruktur seperti stadion, hingga berbagai perizinan. Dari izin keamanan pertandingan hingga izin kerja para pemain dan pelatih asing. Namun inilah yang menjadi bibit lahirnya budaya yang menafikan profesionalisme sepak bola di negeri tercinta kita.
Kedekatan klub dan pemain dengan para pejabat ini, apalagi disokong pengusaha lokal kaya raya, yang sama-sama gila bola, maka terbentuklah budaya primodialistik yang sering mengesampingkan pragmatisme profesional. Pernah seorang pelatih asing asal Eropa ribut besar dengan pengurus sebuah klub, gara-gara sang pelatih menentukan hanya pemain inti dan cadangan, serta pelatih dan asisten-asistennya yang boleh ada di ruang ganti serta di “bench”. Para pengurus klub yang rata-rata pejabat daerah dan pengusaha setempat lalu memprotes dan mempertanyakan keputusan tersebut. Padahal dalam peraturan pertandingan liga, jelas-jelas ditulis yang boleh ada di dalam ruang ganti dan “bench” adalah anggota tim yang terdaftar dalam daftar resmi peserta pertandingan, yaitu pemain, pelatih, dan asisten-asistennya.
Lalu, apa yang dilakukan oleh para petinggi ini ketika mereka “hang-out” dengan para pemain bintang timnya? Satu persatu akan memberikan pidato “motivasional” yang kadang justru bertentangan dengan instruksi pelatih. Bayangkan, misalnya Anda seorang striker andalan tim, lalu si pejabat dengan hebatnya berkata, dia percaya Anda akan mampu mencetak goal dari jarak jauh, padahal pelatih sudah instruksikan agar Anda lebih banyak merangsek menciptakan “scrimmage” di depan gawang, jangan coba-coba tendangan jarak jauh! Membingungkan bukan?
Tidak hanya sampai di situ. Ketika tim ini menang maka ruang ganti akan lebih sesak lagi! Setiap orang berebut memberikan sambutan ucapan selamat, tidak lupa mengingatkan motivasi dari dirinya yang berhasil membuat tim menang, ditutup dengan janji sawer bonus puluhan juta rupiah! Kebiasaan ini yang membentuk mental pemain dan tim yang mata duitan dan lebih percaya pada hubungan paternalistik, daripada hubungan profesional yang didasari nilai sportifitas dan disiplin.
Sikap “money oriented” dan kebanggaan membabi buta yang memicu lahirnya mafia pengaturan skor, jual beli jalur juara, sogok wasit dan penonton fanatik yang hobi rusuh. Semuanya diawali dengan tawaran menggoda untuk memenuhi nafsu uang dan kebanggaan. “Point is: Supply only answers to Demands!” Inilah yang gagal dihilangkan di dalam LSI. Pertanyaan, apakah LPI akan mampu menghilangkan penyakit ini? Perlu bukti dan ujian dalam waktu panjang, untuk menghilangkan keyakinan masyarakat bahwa sepak bola Indonesia identik dengan kalah (melulu), rusuh (terus), dan kotor (selalu).
Hal terpenting, siapapun penyelenggara Liga Indonesia, baik yang SUPER ataupun yang PRIMER, bisa menjaga kesucian nilai sportifitas selama 2x45 menit di lapangan hijau. Sebelum dan sesudahnya? “It’s all about business and politics as usual.” ***
Penulis adalah pengamat sepakbola nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar